Kondisi kebebasan berekspresi di Yogyakarta semakin memprihatinkan
YOGYAKARTA, Indonesia —Kabar itu datang di pengujung waktu. Arham Rahman sedang sibuk mengurus display karya ketika Direktur Galeri Lorong memberitahunya.
“Ada komplain dari Pak Dukuh, dia minta pameran tak boleh berlangsung,” kata Irham, lelaki yang bertugas mengkurasi karya seni di galeri itu, Rabu 14 Februari 2018 malam.
Setengah ragu dengan kabar yang diterimanya, lepas asar ia datang ke rumah Joko Pramono, Kepala Dukuh Jeblok Desa Tirtomartani, Kasihan, Bantul –tempat galeri berada- untuk memastikan keabsahan informasi. Di sana, Joko menjelaskan seorang warga mengadu. Pameran bertema Tanah Istimewa yang sedianya dibuka Rabu malam dituding tak pro program pemerintah. “Dianggap meresahkan,” katanya.
Tanah Istimewa merupakan pameran seni rupa yang digagas oleh Teman Temon. Ini semacam komunitas bersama antara aktivis pro demokrasi, mahasiswa, seniman, dan relawan solidaritas penolak bandara. Rencananya, mereka memamerkan poster, lukisan, dan karya instalasi berisi artefak rumah warga yang tergusur pembangunan bandara di Kecamatan Temon, Kulonprogo.
Dalam pameran yang dijadwalkan berlangsung dua hari ini, dari 14-15 Februari, juga akan diluncurkan dua film. Satu film, berjudul Tanah Istimewa karya mahasiswa ISI Yogyakarta, berkisah tentang perampasan tanah di Yogyakarta dan satu film lain, berjudul HAM Aku Nang Kene garapan Jogja Darurat Agraria, adalah video dokumenter tentang penggusuran di Temon.
Puluhan anak muda yang berharap malam itu turut merayakan pembukaan pameran terpaksa kecewa. Di kedai di lantai pertama galeri mereka duduk menghabiskan waktu. Anak tangga menuju lantai dua, tempat pameran dijadwalkan berlangsung, terlihat remang tak cukup pencahayaan. Tak ada orang mondar-mandir naik turun dari dan menuju ruangan pamer. “Kami tutup, karyanya ya sudah kami turunkan,” kata Irham, lesuh.
Terang ia kecewa. Galeri Lorong berdiri pada 2013. Sejak setahunan lalu, ruang pamer mereka di dusun Jeblok rutin menggelar kegiatan. Dari pameran seni –kebanyakan karya kriya- sampai diskusi dengan beragam tema. Tentang seni budaya, arsitektur, juga sosial politik.
Selama itu, kata dia, tak pernah ada masalah dengan warga sekitarnya. Malah dalam tiap pembukaan pameran, para pemuda setempat datang membantu parkir kendaraan pengunjung. Memang ada kewajiban bagi galeri menginformasikan kegiatannya pada pengurus kampung. Tapi itu biasa disampaikan menjelang pembukaan. Dan itu, lagi-lagi tak pernah ada masalah.
Dua bulan paska peristiwa itu, pameran bertajuk Idola Remaja Nyeni di Independent Art-Space Management dibubarkan ormas. Lagi-lagi, seperti dalih pembubaran di Survive, massa menilai pameran itu meresahkan karena dianggap mendukung LGBT. Sembilan karya di pameran ini disita polisi, massa memaksa senimannya menghapus mural bagian dari karya yang dipamerkan.
“Masak untuk menyatakan pendapat yang itu bagian dari kebebasan berekspresi dilarang-larang,” katanya.
Joko Pramono mengatakan desakan pembatalan itu ia lakukan setelah seorang warganya mengadu. Warga itu, ia melanjutkan, seorang yang aktif di Forum Komunikasi Pimpinan Daerah. Pada Joko, warga itu menyebut tema pameran yang mengangkat solidaritas terhadap warga penolak penggusuran itu meresahkan. “Kalau tak ada izinnya ditiadakan saja,” katanya menceritakan imbauan warga itu, ketika dihubungi Rabu malam.
Lewat seorang petugas Bhabinkamtibmas, Joko meneruskan informasi itu ke Polsek Kasihan. Kepala Polsek Komisaris Supardi menyarankan Joko, jika tak ada izin sebaiknya acara itu dibatalkan saja.
Supardi membantah polisi membatalkan pameran. Tak ada polisi di galeri saat itu, jadi mustahil polisi membatalkan. Pada Joko, ia mengatakan memberi saran untuk menyampaikan keresahan warga pada pengelola galeri. “Yang membatalkan pemilik galeri sendiri,” katanya saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Jumat 16 Februari 2018.
Ekspresi dibatasi, kritik disensor
Himawan Kurniadi tak habis pikir. Di saat bersamaan ketika Joko mendesak pameran dibatalkan, pemerintah sedang menggelar deklarasi Jogja Damai Menolak Kekerasan, Intoleransi, dan Radikalisme di Bangsal Kepatihan. Deklarasi yang dihadiri pejabat pemerintahan, ormas, akademisi, dan pemuka agama itu respon atas penyerangan gereja St. Lidwina Bedog, Sleman sepekan sebelumnya.
“Toleransi macam apa kalau orang berpendapat dan berekspresi saja dilarang,” kata pemuda, relawan Teman Temon itu. Toleransi bukan terbatas perkara agama. Mereka yang gembar-gembor mengaku toleran semestinya juga menghargai ruang hidup petani yang mempertahankan tanahnya. “Bukan malah dituding sumber keresahan,” katanya.
Seniman jalanan Andrew Lumban Gaol menduga memang ada upaya agar isu penggusuran lahan pertanian di Temon, Kulonprogo tak meluas di kota lain di Daerah Istimewa Yogyakarta. Oktober tahun lalu, ia pernah membuat karya poster bertema penggusuran petani itu.
Gambarnya demonstrasi petani. Mereka membawa alat pertanian dan pengeras suara. Street artist yang dikenal dengan karya berinisial Anti-Tank ini melengkapi posternya dengan pesan. “Penggusuran! Di atas dunia harus dihapuskan karena tak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Pesan yang nakal dan jenaka tapi mengena.
Sebulan di tempel di Jembatan Kewek, jembatan yang menghubungkan stasiun Tugu dan Lempuyangan, poster itu rusak. Entah siapa pelakukanya. Tapi yang aneh, gambarnya utuh teksnya rusak. “Saya sudah memperkirakan poster itu tak bertahan lama,” katanya, akhir Januari lalu.
Itu bukan poster pertamanya yang bicara tentang penggusuran di Temon, Kulonprogo. Ia pernah membuat poster Sudah Sejahtera Tanpa Bandara. Gambarnya sepasang tangan menangkup semangka dan cabe. Poster ini bicara tentang bagaimana petani di Temon, Kulonprogo makmur dengan hasil pertanian.
Bagi petani, bandara -yang didengungkan sebagai program prestisius pemerintah- bukanlah jaminan kesejahteraan. Sebaliknya, kehadiran pembangunan bandara justru ancaman bagi sawah dan ladang mereka.
Sebelumnya, ia juga pernah membuat karya lain bertema serupa. Gambarnya sebuah tangan menanam sebatang cabe pada satu unit backhoe. Karya itu berkisah perjuangan para petani bertekad tetap menanami lahannya di tengah gemburan alat berat proyek pembangunan.
Bagi Andrew, pembangunan bukan berarti menghalalkan segala cara. Termasuk mengabaikan hak warganegara dan kemanusiaan. Atas nama pembangunan rakyat digusur. Sementara para pemodal berduit besar dipersilahkan dan diistimewakan.
Salah satu karyanya bicara tentang itu. Bergambar seorang lelaki berpakaian rapi, mengenakan jas lengkap dasi dan bertopi helm proyek. Dengan senyum terkembang, lelaki itu digambarkan sedang membentangkan selembar kertas berukuran sebesar koran. Di sana tertulis, “Negara Kesatuan Republik Investor, Penggusuran Harga Mati”.
Poster itu bisa dinikmati di tembok-tembok kota hingga kini. Sayangnya, hanya gambarnya yang tersisa. Teksnya rusak. Entah siapa pelakunya. —Rappler.com
Sumber : https://rappler.idntimes.com/yetta-tondang/resah-tema-bandara-pameran-seni-rupa-yogyakarta-dibatalkan-1
Terimakasih ya, infonya bermanfaat.
ReplyDeleteOh ya, mau menambahkan informasi aja nih.
Bagi yang membutuhkan Sewa AC Bali untuk berbagai keperluan seperti event misalnya, bisa coba hubungi kami dari Arthur Teknik ya. Dijamin profesional dalam pengerjaannya.